[ad_1]
Gedung SPs, BERITA UIN Online— Para tokoh agama diharap turut serta membangun pijakan kokoh pada tradisi keilmuan keagamaan masing-masing dalam mendorong terbangunnya hubungan damai antar umat manusia ke depan. Selain itu, mereka diharap turut serta merumuskan aksi -aksi nyata dari kesepakatan damai antar umat manusia saat ini yang masih bersifat visioner.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2026, Dr (HC) K.H. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, saat menjadi pembicara utama Seminar Nasional Fikih Peradaban di Auditorium Prof. Dr. Suwito, Gedung SPs UIN Jakarta, Senin (27/3/2023). Menurutnya, umat manusia kini dituntut mampu menjaga kualitas perdamaian hidup yang telah dibangun setelah mengalami fase sejarah penuh konflik, kekerasan, dan perang.
Kesadaran memelihara perdamaian dan menekan konflik permusuhan memang telah diinisiasi banyak pihak dalam berbagai forum, termasuk forum dialog antar agama. Namun upaya ini, dinilai masih memiliki kekurangan karena pijakan kokoh pada tradisi keilmuan masing-masing agama belum sepenuhnya dirumuskan.
Ia mencontohkan bagaimana di satu sisi para tokoh agama melakukan dialog agama-agama di tingkat elit, namun di saat yang sama sebagian masyarakat agamanya masih menggunakan referensi keilmuan keagamaan yang tidak memasukan diskusi hubungan damai antar agama. Bahkan dalam berbagai kasus, tidak jarang referensi keilmuan tersebut masih menyajikan sikap-sikap tertentu terhadap komunitas berbeda agama.
Dalam tradisi Ushul Fiqih yang sangat berpengaruh di kalangan Muslim bermazhab Syafi’i misalnya masih ditemukan kaidah kehalalan darah dan harta orang kafir, kecuali terdapat jaminan penguasa. Padahal dalam konteks kepentingan hubungan damai umat manusia masa kini pandangan tersebut tidak lagi relevan.
“Maka yang kita cari saat ini adalah bagaimana aspirasi yang menolak konfik, kekerasan, dan perang ini mendapatkan pijakan yang kokoh dalam wawasan keagamaan. Itu yang kita butuhkan,” tandasnya.
Masyarakat di era politik negara modern, tuturnya, telah menunjukan kemajuan membangun perdamaian antar umat manusia melalui Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa (Piagam PBB) yang cukup monumental. Piagam ini setidaknya memuat dua komponen penting yang dibutuhkan, yaitu kesepakatan perbatasan antar negara guna mencegah tindakan invasif dan kesetaraan martabat manusia guna mengakhiri konflik dan peperangan.
“Namun, isi dari perjanjian Piagam PBB itu lebih bersifat visioner daripada sesuatu yang mempunyai immediate effects, langsung diterapkan, tapi lebih bersifat visi,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, maka pekerjaan semua pihak untuk turut serta merumuskan tindak lanjut imperatif dari visi perdamaian piagam tersebut. Tokoh agama dan akademisi Muslim sendiri diharapkan turut serta merumuskan tindak lanjut imperatif piagam perdamaian PBB tersebut dari perspektif Islam.
“Tapi yang penting bahwa dalam perspektif Islam, ini sudah ada landasan syariat tentang kenapa kita tidak boleh bermusuhan dengan kelompok yang berbeda. Harapannya ke depan, wawasan ini bisa dikembangkan lebih lanjut dan dijabarkan dalam berbagai produk akademik yang diperlukan,” paparnya.
Salah satu tindak lanjut itu, imbuhnya, adalah menyediakan bahan-bahan ajar yang membangun sikap damai bagi generasi Muslim. Diakuinya, bahan-bahan ajar yang dipelajari anak-anak seperti Sejarah Islam lebih didominasi sejarah peperangan dan penaklukan.
“Kita harapkan mulai dari sini kita mulai kerjakan apa yang diperlukan sampai jadi bahan ajar anak-anak kita. Sehingga visi perdamaian bukan hanya percakapan para elit agama tapi jadi bagian hidup umat beragama,” tandasnya.
Selain Rektor Prof. Asep Saepudin Jahar Ph.D dan Direktor Sekolah Pascsarjana Prof. Zulkifli Ph.D., presentasi Gus Yahya dihadiri para Guru Besar dan sivitas akademik UIN Jakarta lainnya. Selain itu, seminar yang dipandu Dr Ahamd Suaedy ini menghadirkan empat pembahas, Prof Aleksius Jemadu (Universitas Pelita Harapan), Prof Siti Zuhro (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Prof Noorhaidi Hasan (Universitas Islam Internasional Indonesia), dan Prof Ali Munhanif (UIN Jakarta). (hmn/mf/zm)
Views: 184
[ad_2]