[ad_1]
HalloKampus.com, Jakarta – Bagi umat Islam kata ‘wakaf’ sudah tak asing lagi, seperti halnya sedekah dan infak yaitu memberikan barang yang dimiliki untuk orang lain, tetapi berbeda dari sisi tata cara serta tujuannya.
Pakar keuangan Islam Ai Nur Bayinah menyebut wakaf sebagai instrumen berbagi yang bisa dilakukan oleh tiap muslim. Meski bukan kewajiban, aset atau barang yang diwakafkan haruslah harta terbaik yang dimiliki dan bermanfaat bagi banyak orang.
Wakaf juga semakin istimewa karena termasuk amal jariyah, yakni pahalanya terus mengalir meski pewakaf (wakif) nya sudah meninggal dunia.
“Wakaf ada peruntukannya dan biasanya dikhususkan untuk hal-hal yang sustain, yang harus dijaga keberadaannya supaya tetap bisa dimanfaatkan oleh banyak orang,” ujar Ai.
Dalam praktiknya, wakaf sering diasosiasikan dengan tanah. Memang, wakaf dalam bentuk tanah selama ini lebih populer dibandingkan aset lain. Sistem Informasi Wakaf (SIWAK) Kementerian Agama tahun 2021 mencatat potensi wakaf tanah di Indonesia mencapai sekitar 55 ribu hektar. Tanah-tanah tadi biasanya digunakan untuk fasilitas umum.
“Misalnya untuk membantu pendirian tempat ibadah, masjid, dan sekolah,” kata Ai.
Namun, kini berwakaf makin mudah. Pada 2001 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa wakaf tak mesti berupa tanah, tetapi bisa uang, saham, bahkan asuransi.
“Beberapa manajer investasi sudah punya bundling ke wakaf saham. Jadi kita punya saham, bisa langsung diinvestasiin, mau diwakafkan, apakah diwakafkan hasilnya, atau diwakafkan sahamnya,” jelas dosen STEI SEBI ini.
Baca juga:
Potensi Ekonomi Zakat untuk Kemaslahatan Umat
[ad_2]