[ad_1]
Burung dodo belum akan bangkit lagi dalam waktu dekat. Begitu juga mammoth berbulu. Tetapi sebuah perusahaan yang sedang mengembangkan teknologi untuk membangkitkan lagi spesies-spesies yang sudah punah telah menarik semakin banyak investor, meskipun ilmuwan lain skeptis bahwa hal itu bisa dilakukan maupun menganggap itu sebagai ide bagus.
Colossal Biosciences pertama kali mengumumkan rencana ambisius untuk menghidupkan kembali mammoth berbulu dua tahun yang lalu. Pada hari Selasa (31/1), perusahaan itu juga mengatakan ingin membangkitkan burung dodo.
“Burung dodo adalah simbol kepunahan yang disebabkan oleh ulah manusia,” kata Ben Lamm, pengusaha sekaligus CEO Colossal. Perusahaan itu telah membentuk divisi khusus untuk berfokus mengembangkan teknologi genetik yang berhubungan dengan burung.
Dodo terakhir – burung seukuran kalkun yang tidak bisa terbang – dibunuh pada tahun 1681 di pulau Mauritius di Samudera Hindia.
Perusahaan asal Dallas yang didirikan tahun 2021 itu juga mengumumkan di hari yang sama bahwa pihaknya telah mengumpulkan dana tambahan sebesar $150 juta (sekitar Rp2,2 triliun). Hingga berita ini diturunkan, perusahaan itu sudah mengumpulkan dana senilai $225 juta (sekitar Rp3,3 triliun) dari beragam investor, termasuk United States Innovative Technology Fund, Breyer Capital and In-Q-Tel, perusahaan modal ventura CIA yang berinvestasi dalam bidang teknologi.
Prospek menghidupkan kembali spesies burung dodo tidak diharapkan menghasilkan uang secara langsung, kata Lamm. Namun peralatan dan perlengkapan genetik yang perusahaan itu coba kembangkan mungkin membawa manfaat lain, termasuk bagi perawatan kesehatan manusia, ungkapnya.
Misalnya, Colossal kini sedang menguji peralatan untuk merekayasa beberapa bagian genom secara bersamaan. Perusahaan itu juga sedang mengembangkan teknologi yang kadang disebut sebagai “rahim buatan,” ungkapnya.
Spesies terdekat dodo yang masih hidup adalah merpati Nicobar, kata Beth Shapiro, ahli biologi molekuler di dewan penasihat ilmiah Colossal, yang telah mempelajari dodo selama dua dekade. Shapiro dipekerjakan oleh Howard Hughes Medical Institute, yang juga mendukung Departemen Kesehatan dan Sains Associated Press.
Timnya berencana untuk meneliti perbedaan DNA antara merpati Nicobar dan dodo untuk memahami “apa saja gen yang membuat seekor dodo menjadi spesies dodo,” ungkapnya.
Tim itu kemudian dapat mencoba mengedit sel merpati Nicobar agar menyerupai sel dodo. Adalah hal yang mungkin dilakukan untuk menaruh sel yang sudah direkayasa ke dalam telur burung lain yang sedang berkembang, seperti merpati atau ayam, untuk menciptakan keturunan yang pada akhirnya secara alami menghasilkan telur dodo, kata Shapiro. Konsep itu masih dalam tahap teoritis awal untuk spesies dodo.
Karena hewan merupakan hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan mereka – yang sudah berubah drastis sejak tahun 1600-an – Shapiro mengatakan bahwa “tidak mungkin menciptakan salinan yang 100 persen identik dengan sesuatu yang sudah punah.”
Ilmuwan lain mempertanyakan apakah hal itu bijaksana untuk dilakukan. Mereka juga mempertanyakan apakah “de-extinction,” atau membangkitkan kembali spesies yang punah, mengalihkan perhatian dan sumber daya keuangan dari upaya untuk menyelamatkan spesies yang masih bertahan di Bumi.
“Ada bahaya yang nyata dari ungkapan bahwa jika kita menghancurkan alam, kita bisa menghidupkannya lagi – karena kita tidak bisa (melakukannya),” kata ahli ekologi Universitas Duke Stuart Pimm, yang tidak memiliki hubungan dengan Colossal.
“Dan di mana Anda akan meletakkan mammoth berbulu, selain di kandang?” tanya Pimm, yang mengingatkan bahwa ekosistem di mana mammoth dulu hidup sudah lama menghilang. [rd/rs]
[ad_2]